Produktivitas
Sebagai Slogan, Methode atau Budaya ?
Sudah hampir 4 bulan RSPP
disibukkan dengan ISO 9000-2001. Dan beraneka ragam respon pun bermunculan, ada
yang negatif dan ada pula yang positif. Sebenernya untuk apa sih ISO itu?
Mungkin pertanyaan yang sama akan muncul dalam hati pembaca sekalian.
Meningkatkan produktivitas yah
mungkin itu salah satunya meski masih banyak lagi keuntungan lainnya kata
konsulenya dan hal itu bukalahn kapasitas kami untuk membahasnya disini mungkin
edisi yang akan datang ada orang TQM yang akan memaparkannya secara gamblang.
Dalam era globalisasi persaingan
menjadi kunci bagi suatu perusahaan untuk tetap eksis dalam dunia usahanya
tidak terkecuali industry rumah sakit seperti RSPP kita ini. Beraneka ragam
cara dilakukan untuk mempertahankan eksistensi tersebut. Sebutlah di RSPP ada
Training La prima, ESQ, Out bound, Akreditasi, sertifikasi ISO dan masih banyak
lagi. Semua itu dilakukan untuk meningkatkan produktivitas perusahaannya secara
kuantatif, kualitatif dan administrative. dan hasilnya pun menjadi beraneka
ragam. Apakah semua itu sudah mencapai titik ekspektasinya?
Produktivitas sering disebut-sebut, namun dilapangan ternyata hal tersebut
tidak terjadi.Kita mungkin tahu arti produktivitas tapi terkadang tidak benar-benar
memahami maknanya. Kita juga seringkali terjebak bahwa Produktivitas adalah
sebatas methode yang harus dilakukan, tanpa benar-benar memahami substansinya.
Maka setelah dikaji secara mendalam produktivitas tidaklah hanya sebatas
methode tapi berkait dengan sikap dan cara berpikir sehari-hari. Lebih
lengkapnya kita sebut sebagai Budaya Produktivitas.
Hal inilah yang menyebabkan perbedaan hasil dari perusahaan/institusi yang
menerapkan methode produktivitas. Bagi yang sekadar menerapkan methode produktifitas,
maka segala prosedur, sistem, dan susunan organisasi hanyalah sebatas standar
yang harus dipenuhi. Tapi orang-orang yang menjalankannya tidak melaksanakannya
sepenuh hati karena tidak memahami inti dari produktifitas. Proses yang
terjadipun alakadarnya hanya untuk memenuhi standar yang ada. Tidak ada
suatu pemikiran, semangat dan cita-cita untuk melakukan yang terbaik.
Lalu apa sebenarnya produktivitas itu? Menurut
Dewan Produktivitas Nasional, secara filosofis Produktivitas adalah sikap
mental yang memiliki pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini harus lebih baik
dari kemarin, dan hari depan harus lebih baik dari hariini. Dari hal tersebut
inti dari Produktivitas adalah mental untuk melakukan perbaikan secara terus
menerus. Seseorang yang produktif akan selalu mengupayakan apa yangdiperbuat
secara efektif, efisien dan berkualitas. Yang menjadi patokan bukan bekerja keras
namun bagaimana bekerja secara cerdas. Produktivitas juga tidak hanya seberapa besar
yang dihasilkan dan seberapa besar hasil yang didapat tapi juga berkait dengan kepuasan
untuk memberi yang terbaik dan kepuasan menerima penghargaan yang baik.
Produktivitas tidak hanya berlaku bagi mereka
yang bekerja secara operasional dilapangan tapi juga para manajer dan pimpinan.
Produktifitas memacu orang untuk berpikir apa yang bisa saya lakukan dan bukan
menghindar dari pekerjaan. Produktivitas adalah salah satu bentuk aktualisasi
diri sesorang untuk menunjukkan kemapuan danprestasinya.
Setelah kita memahami arti dari Produktivitas
maka sekarang saatnya bagi kita untuk membangun budaya Produktif. Apa yang bisa
kita lakukan supaya produktifitas tidak hanya sebatas slogan atau methode yang
dilakukan. Ada
beberapa hal yang bisa dilakukan antara lain :
Pertama adalah membangun
awareness pentingnya produktivitas. Dimulai dengan promosi produktivitas baik itu berupa poster, spanduk,
bacaan, diskusi, jinggle, film dan sebagainya di tingkat perusahaan/institusi. Dengan promosi ini orang menjadi
mengerti apa sebenarnya makna dan isi dari produktifitas itu. Disampaikan
pula keuntungan keuntungan apa saja yang didapat dengan adanya budaya
produktif. Jadi tidak hanya mengenal
kata produktivitas saja. Dari kesadaran yang ditimbulkan mengenai produktivitas
maka perilakunya pun akan mulai berubah. Perubahan yang terjadi pun
tidak perlu dilakukan secara frontal dan besar. Tapi bagaimana perbaikan itu terjadi secara alami namun terus
berkelanjutan.
Kedua adalah membangun sebuah komitmen bersama baik itu dari top management
sampai staf operasional. Hal ini penting karena kalau staf operasional sudah
produktif namun ditingkat top management tidak produktif atau sebaliknya maka
hasil yang didapat tidak akan maksimal. Dengan komitmen bersama, maka satu
dengan yang lainakan saling memberi masukan, mengingatkan dan berdiskusi untuk
mencapai tujuan bersama. Jadi tidak ada dikriminasi untuk berlaku produktif
baik bagi staf sampai top management. Dalam suatu perusahaan keteladanan
manajemen adalah sesuatu yang mutlak dilakukan sehingga jangan sampai muncul
ungkapan ”manajemennya saja begitu ya kita ngikut aja”. Jadi kalau kita
menghendaki perbaikan maka mulailah segala sesuatu itu dari diri kita pribadi
dan orang akan melihat apa yang kita kerjakan.
Ketiga adalah membangun win-win
condition. Memberikan penghargaan sesuai
dengan apa yang dihasilkan. Artinya adalah apabila semua pihak sudah produktif
dan mendapatkan hasil baik sesuai yang diharapkan maka semua pihak haris
mendapatkan perhargaan yang sesuai dengan kontribusi yang diberikan. Jadi
jangan sampai orang yang telah menunjukkan prestasinya mendapatkan penghargaan
yang sama dengan yang biasa saja. Atau ketika semua pihak sudah produktif
memberikan kontribusi besar sehingga menguntungkan perusaan /instansi tapi
penghargaan yang diberikan sama saja seperti sebelumnya. Hal ini terkait
bagaimana membangun hubungan Industrial/Hubungan kerja yang baik. Dan hal ini
yang seringkali menjadi perselisihan mengenai penghargaan yang diberikan.
Seperti di ketahui dengan methode penjumlahan dalam value added kita mengenal
pajak, bunga bank, depresiasi, biaya tenaga kerja dan keuntungan. Yang menjadikan perselisihan dan
menjadikan unmotivated antara tenaga kerja dan pemberi kerja adalah prosentase
biaya tenaga kerja. Yang sering terjadi adalah untuk mendapatkan
keuntungan yang besar maka seringkali biaya tenaga kerja ditekan. Karena pajak,
bunga bank dan depresiasi telah mempunyai prosentase yang tetap maka prosentase
yang bisa digeser adalah prosentase biaya tenaga kerja. Secara sekilas dan sesaat
hal ini paling mudah dilakukan bagi para pemberi kerja dengan hasil yang
besar.Tapi bila dikaji lebih jauh dampak yang dihasilkan adalah terjadinya
overhead cost disetiap bagian. Tenaga kerja menjadi kehilangan semangat
kerjanya. Mereka akan berpikir memberikan yang terbaik kepada perusahaan/institusi
ataupun tidak akan mendapatkan
penghargaan yang sama saja. Dari sini akan menimbulkan banyak ketidak efisienan,
ketidak efektifitasan dan dapat menurunkan kualitas. Ketidak teraturan tempat kerja
yang akan menambah waktu proses dan meghambat kerja. Sebagai contoh peralatan yang
dibiarkan berserakan. Ketidak beresan dan kerusakan mulai dibiarkan. Sebagai contoh olie yang menetes dari
mesin akan dibiarkan dan dianggap sebagai hal biasa dan wajar. Konsentrasi
kerja yang buyar karena sibuk mencari pendapatan sampingan untuk mencukupi
kebutuhan hidup. Atau ekstrimnya malah justru menggergoti perusahaan dengan
melakukan korupsi kecil-kecilan. Maka yang terpenting adalah bukan menggeser prosentase
biaya tenaga kerja tapi bagaimana berpikir dan bertindak secara bersama untuk
membangun keuntungan yang lebih besar. Prosentase bisa sama saja, tapi bila keuntungan
membesar maka yang didapat pun akan membesar. Hal ini memang membutuhkan
kepercayaan dari tenaga kerja maupun pemberi kerja. Bila memang keuntungan yang
dihasilkan bertambah maka akan ada penambahan gaji/fasilitas kepada staf,
demikian juga sebaliknya. Keberlangsungan perusahaan/institusi tidak lagi
menjadi tanggung jawab pemberi kerja namun menjadi tanggung jawab semua pihak.
Keuntungan perusahaan / institusi adalah keuntungan bagi semua. Keberlanjutan
nasib perusahaan/isntitusi juga merupakan keberlanjutan nasib dari semua pihak.
Hal ini yang akan memacu semua pihak untuk produktif.
Keempat adalah adanya
pengukuran/penilaian dan penghargaan. Pengkuran/penilaian perlu untuk dilakukan
karena dengan hail dari pengukuran/penilaian tersebut bisa menjadi bahan
evaluasi sejauh apa produktifitas telah dilakukan. Pengukuran bisa dilakukan
untuk setiap individu, setiap bagian dan juga di tingkat perusahaan. Dari hasil
pengukuran/penilaian yang ada bisa dilakukan pengambilan keputusan yang tepat. Namun
jangan lupa setelah dilakukan penilaian harus ada penghargaan yang yang diberikan.
Dari hal ini pula akan muncul suatu kompetisi untuk menghasilkan yang terbaik
yang pada akhirnya akan menguntungkan bagi perusahaan/institusi itu sendiri.
Kelima adalah benchmark. Proses
benchmarking perlu dilaksanakan di tingkat individu, bagian dan perusahan. Hal
ini dimaksud untuk memberikan gambaran sejauh mana tingkat produktivitas
dihasilkan. Apakah sudah maksimal atau ada yang perlu dan bisa untuk
ditingkatkan. Dengan bencmarking bisa diketahui dimana letak kelebihan dan kekurangannya.
Pada akhirnya bila budaya produktivitas sudah terbentuk baik di tingkat
individu, bagian atau perusahaan/institusi, maka secara alami dan natural akan
terjadi perbaikan secara terus menerus dan akan menghasilkan keuntungan yang
membesar. Sustainable dari perusahaan/institusi pun akan lebih
terjamin.Segala methode yang digunakan untuk meningkatkan produktivitas akan
bekerja secara maksimal. Dan yang terjadi adalah hubungan industrial yang
semakin baik sehingga keberadaan perusahaan/institusi akan benar-benar menjadi
tanggung jawab bersama. (WKPnews_A.Hariri/@2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar