"SUKSESKAN RAKERCAB SERIKAT PEKERJA DPC RSPP, 25 S.D 26 OKTOBER 2016 ...............................................................24 NOPEMBER ..................................HUT SERIKAT PEKERJA PERTAMEDIKA KE 16"

Minggu, 25 Januari 2015

Uang Transportasi & Makan Pekerja

BANTUAN KEHADIRAN SEBAGAI PENGGANTI UANG TRANSPORT DAN POLEMIK DISKRIMINASI MAKAN PEKERJA

Apakah sudah dikategorikan layak ketika seorang pekerja mendapatkan bantuan kehadiran dengan sejumlah uang sebagai penggantian biaya transportasi masuk dan keluar kerja harian? Jika dikaitkan dengan laju inflasi tentu saja bantuan kehadiran ketika diuangkan akan bernilai sangat kecil sehingga tidak akan mencukupi. Meskipun uang bantuan kehadiran sebagai Tunjangan Tidak Tetap, kita meski mampu berhitung atau merekomendasikan dasar perhitungan yang tepat sesuai dengan hidup layak dan merujuk kepada UU yang berlaku.

Adapun dasar hukum yang berkaitan dengan adanya uang transport ini adalah Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: SE-07/MEN/1990 tentang Pengelompokan Komponen Upah dan Pendapatan Non Upah (“SE Menakertrans 07/1990”) yang memasukkan tunjangan transport ke dalam komponen tunjangan tidak tetap.

Tunjangan Tidak Tetap adalah suatu pembayaran yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan pekerja, yang diberikan secara tidak tetap untuk pekerja dan keluarganya serta dibayarkan menurut satuan waktu yang tidak sama dengan waktu pembayaran upah pokok. Tunjangan Transport dapat dimasukkan dalam komponen tunjangan tidak tetap apabila pemberiannya didasarkan pada kehadiran (lihat Angka 1 huruf c SE Menakertrans 07/1990).

Karena tidak diatur dalam UU secara normatif, melainkan di dalam PK, PP atau PKB, maka apabila ada perselisihan di antara buruh dan pengusaha mengenai uang transport, perselisihan tersebut termasuk dalam perselisihan kepentingan. Pada prinsipnya, jenis Perselisihan Hubungan Industrial (“PHI”) itu meliputi (Pasal 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (“UU PPHI”)):

a. perselisihan hak;
b. perselisihan kepentingan;
c. perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan
d. perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, demikian yang disebut dalam Pasal 1 angka 3 UU PPHI.

Jika memang ada perbedaan pendapat atau perselisihan antara pengusaha dengan pekerjanya, maka keduanya wajib menyelesaikannya terlebih dahulu melalui perlindungan bipatrit, termasuk perselisihan kepentingan (lihat Pasal 3 ayat (1) UU PPHI).

Apabila perundingan bipartit ini gagal, maka penyelesaian kemudian ditempuh melalui jalur tripartit yaitu mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase. Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator untuk ditempuh jalur mediasi (lihat Pasal 4 ayat (1), (3), dan (4) UU PPHI).

Dalam hal perundingan di jalur tripartit ini masih tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial (Pasal 5 UU PPHI).
Sebagai contoh kasus dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Surabaya Nomor: 75 / G / 2013 / PHI.Sby. Dalam putusan ini diketahui bahwa pokok permasalahan kepentingan dalam kasus ini adalah masalah kenaikan skala upah, tunjangan uang makan dan tunjangan uang transport yang diminta pekerja kepada pengusaha, Sebelumnya pekerja dan pengusaha telah merundingkan masalah ini secara bipartit dan juga dilakukan mediasi namun tidak ada titik temu, maka berdasarkan hal tersebut kemudian para pekerja mengajukan perselisihan tersebut ke pengadilan.

Para pekerja bertindak selaku para penggugat dan pengusaha selaku tergugat. Salah satu permintaan penggugat ke pengadilan adalah adanya kenaikan upah, tunjangan makan, dan uang transport. Majelis hakim dalam putusannya menyatakan bahwa tuntutan tersebut belum dianggap cukup mendesak dan oleh karenanya Majelis Hakim menyatakan bahwa tuntutan tersebut harus ditolak.
Dari contoh putusan di atas terlihat bahwa tuntutan kenaikan uang transport bukanlah sebuah tuntutan hak normatif sehingga perselisihan yang timbul karenanya adalah merupakan perselisihan kepentingan. Sementara dalam suatu perselisihan kepentingan para pihak diharapkan dapat berunding untuk mencari titik temu.

Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
2. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
3. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: SE-07/MEN/1990 tentang Pengelompokan Komponen Upah dan Pendapatan Non Upah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

P
P
S
R
C
P
D
P
K
W